Siapa orang Indonesia yang tak kenal lirik lagu Halo-halo Bandung. Boleh
jadi hampir semua orang Indonesia pernah menyanyikannya, paling tidak
di ruang-ruang kelas saat masih duduk di bangku sekolah dasar.Bahkan,
lagu tersebut seringkali juga dikumandangkan para suporter saat
menyemangati tim nasional yang tengah berlaga di arena pertandingan
olahraga tingkat internasional. Akan tetapi, apakah setiap orang
Indonesia yang menyanyikan lagu tersebut memahami makna yang terkandung
dalam lagu tersebut?
Ironisnya, warga Bandung sendiri belum tentu mengerti: benarkah Bandung pernah menjadi “lautan api”, atau apakah lirik lagu tersebut sekedar untuk menunjukkan semangat patriotisme warga Bandung yang membara bagaikan lautan api, saat mengusir penjajah. Lagu Halo-halo Bandung ini juga menunjukan beragamnya etnis yang berjuangan mengusir penjajah di Bandung dengan kata “Beta” dam “Bung”
Faktanya, Kota Bandung memang pernah dibumihanguskan atas keputusan para tokoh pejuang saat itu, sehingga seolah-olah Bandung menjadi lautan api. Salah seorang tokoh pejuang itu adalah A.H. Nasution (yang ketika itu menjabat Komandan Divisi III Siliwangi).
Tujuan dikeluarkannya keputusan tersebut adalah agar tentara sekutu pemenang Perang Dunia II dan tentara Belanda (NICA) yang kembali ingin menguasai Indonesia dengan membonceng sekutu, tidak mendapatkan apa-apa kecuali puing-puing bangunan saja dari Kota Bandung. Akibat dari peristiwa itulah, muncul istilah yang cukup terkenal secara nasional: Bandung Lautan Api (BLA). Pertempuran hebat di bandung mengawali keputusan mundur dari Jendral A.H Nasution misalnya pertempuran hebat di jalan Lengkong, Jl FokkerWeg dan pertempuran di Bojongkokosan di luar Bandung. Ini adalah bukti betapi militannya para pejuang dari TRI maupun dari Laskar.
“Jadi dengan ledakan itu, saya (A.H. Nasution) dengan Rukana (salah seorang pelaku sejarah BLA) naik ke atas, di tempat listrik. Melihat betul-betul dari Cimahi sampai Ujungberung, sudah api semua itu.”……. Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman (seorang wartawan yang juga menyaksikan pembumihangusan tersebut), segera menulis berita dan memberi judul “Bandung Selatan Jadi Lautan Api”, namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judul tersebut, maka diperpendek menjadi “Bandung Lautan Api”.
Beberapa bulan sebelumnya, meletus perlawanan rakyat Surabaya dengan tujuan sama –mempertahankan Surabaya dari penguasaan kembali oleh Belanda. Bedanya, heroisme rakyat Surabaya yang melakukan perang terbuka hingga berdarah-darah, diganjar pemerintah Indonesia dengan “Hari Pahlawan”. Patriotisme rakyat Surabaya itu juga lalu diakui pemerintah dengan memasukkan peristiwa tersebut dalam buku Sejarah Nasional Indonesia yang dirilis pemerintah.
Lalu, bagaimana dengan nasib peristiwa BLA yang istilahnya terlanjur menasional? Entah karena perlawanannya tidak seheorik di Surabaya (sehingga muncul julukan “pemuda peuyeum bol” untuk pejuang di Bandung ketika itu), atau karena memang peristiwa BLA kurang dianggap penting, maka peristiwa ini tidak dimasukkan pemerintah sebagai bagian dari kisah sejarah yang terdapat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia itu.
Pengorbanan rakyat Bandung bagi negeri ini terutama rakyat sipil sangat besar, mereka dengan sukarela mentaati perintah meninggalkan rumah yang dicintainya. Selama dipengungsian hidup apa adanya, ketika dua tahun kembali lagi ke Bandung banyak cerita tragis, sedih yang diungkapkan para pengungsi berdasarkan wawancara lisan kepada pelaku utama dalam buku “Saya Pilih Mengungsi’. Cerita perebutan rumah yang sudah ditempati orang lain dalam hal ini konflik antara pribumi dan keturunan Tionghoa mewarnai kesedihan para pengungsi bahkan sampai ke tingkat pengadilan. Bahkan pengusaha Sari Ater sekarang Ama Suwarma memulau usaha bisnisnya dari nol kembali. Memang sedikit sekali sumber tentang keadaan sosial ekonomi pasca penduduk Bandung kembali ke Bandung dari pengungsian perlu riset arsip di Belanda.
Menurut A.H. Nasution, keputusan membumihanguskan Bandung dan menginstruksikan rakyat dan para pejuang untuk mengungsi ke luar Bandung, justru merupakan keputusan yang rasional agar tidak banyak memakan korban seperti Pertempuran Surabaya (10 November) yang memakan hampir 6 ribu korban jiwa menurut Ricklef.Di sisi lain, kesediaan dan kepatuhan rakyat Bandung mengungsi dan meninggalkan rumahnya, bahkan sampai membakar sendiri rumahnya, menunjukkan betapa rakyat Bandung rela berkorban demi kedaulatan bangsa. Lebih dari itu, kepatuhan rakyat Bandung kepada para pemimpinnya itu adalah suatu sikap yang sulit ditemukan di masa sekarang. Sungguh disayangkan jika pada kenyataannya peristiwa yang menunjukkan sisi heroisme lain dari rakyat Bandung ini hanya diakui secara lokal.
Ironisnya, warga Bandung sendiri belum tentu mengerti: benarkah Bandung pernah menjadi “lautan api”, atau apakah lirik lagu tersebut sekedar untuk menunjukkan semangat patriotisme warga Bandung yang membara bagaikan lautan api, saat mengusir penjajah. Lagu Halo-halo Bandung ini juga menunjukan beragamnya etnis yang berjuangan mengusir penjajah di Bandung dengan kata “Beta” dam “Bung”
Faktanya, Kota Bandung memang pernah dibumihanguskan atas keputusan para tokoh pejuang saat itu, sehingga seolah-olah Bandung menjadi lautan api. Salah seorang tokoh pejuang itu adalah A.H. Nasution (yang ketika itu menjabat Komandan Divisi III Siliwangi).
Tujuan dikeluarkannya keputusan tersebut adalah agar tentara sekutu pemenang Perang Dunia II dan tentara Belanda (NICA) yang kembali ingin menguasai Indonesia dengan membonceng sekutu, tidak mendapatkan apa-apa kecuali puing-puing bangunan saja dari Kota Bandung. Akibat dari peristiwa itulah, muncul istilah yang cukup terkenal secara nasional: Bandung Lautan Api (BLA). Pertempuran hebat di bandung mengawali keputusan mundur dari Jendral A.H Nasution misalnya pertempuran hebat di jalan Lengkong, Jl FokkerWeg dan pertempuran di Bojongkokosan di luar Bandung. Ini adalah bukti betapi militannya para pejuang dari TRI maupun dari Laskar.
“Jadi dengan ledakan itu, saya (A.H. Nasution) dengan Rukana (salah seorang pelaku sejarah BLA) naik ke atas, di tempat listrik. Melihat betul-betul dari Cimahi sampai Ujungberung, sudah api semua itu.”……. Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman (seorang wartawan yang juga menyaksikan pembumihangusan tersebut), segera menulis berita dan memberi judul “Bandung Selatan Jadi Lautan Api”, namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judul tersebut, maka diperpendek menjadi “Bandung Lautan Api”.
Beberapa bulan sebelumnya, meletus perlawanan rakyat Surabaya dengan tujuan sama –mempertahankan Surabaya dari penguasaan kembali oleh Belanda. Bedanya, heroisme rakyat Surabaya yang melakukan perang terbuka hingga berdarah-darah, diganjar pemerintah Indonesia dengan “Hari Pahlawan”. Patriotisme rakyat Surabaya itu juga lalu diakui pemerintah dengan memasukkan peristiwa tersebut dalam buku Sejarah Nasional Indonesia yang dirilis pemerintah.
Lalu, bagaimana dengan nasib peristiwa BLA yang istilahnya terlanjur menasional? Entah karena perlawanannya tidak seheorik di Surabaya (sehingga muncul julukan “pemuda peuyeum bol” untuk pejuang di Bandung ketika itu), atau karena memang peristiwa BLA kurang dianggap penting, maka peristiwa ini tidak dimasukkan pemerintah sebagai bagian dari kisah sejarah yang terdapat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia itu.
Pengorbanan rakyat Bandung bagi negeri ini terutama rakyat sipil sangat besar, mereka dengan sukarela mentaati perintah meninggalkan rumah yang dicintainya. Selama dipengungsian hidup apa adanya, ketika dua tahun kembali lagi ke Bandung banyak cerita tragis, sedih yang diungkapkan para pengungsi berdasarkan wawancara lisan kepada pelaku utama dalam buku “Saya Pilih Mengungsi’. Cerita perebutan rumah yang sudah ditempati orang lain dalam hal ini konflik antara pribumi dan keturunan Tionghoa mewarnai kesedihan para pengungsi bahkan sampai ke tingkat pengadilan. Bahkan pengusaha Sari Ater sekarang Ama Suwarma memulau usaha bisnisnya dari nol kembali. Memang sedikit sekali sumber tentang keadaan sosial ekonomi pasca penduduk Bandung kembali ke Bandung dari pengungsian perlu riset arsip di Belanda.
Menurut A.H. Nasution, keputusan membumihanguskan Bandung dan menginstruksikan rakyat dan para pejuang untuk mengungsi ke luar Bandung, justru merupakan keputusan yang rasional agar tidak banyak memakan korban seperti Pertempuran Surabaya (10 November) yang memakan hampir 6 ribu korban jiwa menurut Ricklef.Di sisi lain, kesediaan dan kepatuhan rakyat Bandung mengungsi dan meninggalkan rumahnya, bahkan sampai membakar sendiri rumahnya, menunjukkan betapa rakyat Bandung rela berkorban demi kedaulatan bangsa. Lebih dari itu, kepatuhan rakyat Bandung kepada para pemimpinnya itu adalah suatu sikap yang sulit ditemukan di masa sekarang. Sungguh disayangkan jika pada kenyataannya peristiwa yang menunjukkan sisi heroisme lain dari rakyat Bandung ini hanya diakui secara lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar